Menuju Dinasti Yuan

Pada tahun 1252, Mongke Khan menugaskan Kubilai dan seorang jendral yang sarat pengalaman, Uriyangkhadai untuk menaklukkan Kerajaan Dali. Mulai dari musim panas 1253 hingga awal 1254, misi itu sukses dalam menaklukkan suku-suku Dali dan menyatukan mereka, pengalaman militer Uriyangkhadai terbukti efektif dan sangat berharga di medan tempur.

Setelah Kubilai kembali ke wilayah Song Utara, bekas wilayah Dinasti Jin yang menjadi markasnya, Uriyangkhadai menaklukkan beberapa suku tetangga di Tibet sebelum berbelok menuju ke wilayah Dinasti Tran1 pada tahun 1257. Pasukan Mongol di bawah Mongke Khan ingin menggempur Dinasti Song serempak dari beberapa penjuru.

Oktober 1257

Mongke Khan berangkat menuju ke Song Selatan dan menitipkan pengelolaan Karakorum kepada adiknya, Ariq Boke dan mertuanya, Alamdar.

Sebelumnya Alamdar sempat membuat sejumlah ulah untuk mempersulit keluarga Kubilai di wilayah bekas jajahan Dinasti Jin yang sekarang menjadi tempat kediamannya dan markas besarnya. Ia dikirim Mongke untuk mengaudit administrasi Kubilai. Saat itu Kubilai yang sedang mengemban tugas dari Mongke untuk menaklukkan Dali sama sekali tidak mengetahui urusan ini, tetapi istrinya, Chabbi, menghadapi Alamdar yang datang membawa sejumlah pengawal dengan sikap arogan.

Tim yang dibawa Alamdar mengobrak-abrik semua berkas Kubilai, perpustakaannya, dan bahkan tempat-tempat yang tidak berkaitan langsung dengan tugas mereka. Setelah bekerja beberapa minggu, mereka gagal menemukan satu kesalahan kecil pun yang bisa dijadikan bukti untuk menyudutkan Kubilai. Dalam keputusasaan, akhirnya mereka menyogok beberapa penduduk setempat untuk membuat sejumlah laporan palsu yang bisa dipakai untuk menyudutkan Kubilai.

Di luar dugaan, sandiwara itu terbongkar oleh Chabbi yang mengenal penduduk setempat dengan sangat baik. Alamdar dan timnya yang tersudut akhirnya melihat bahwa sebagian besar penduduk di wilayah itu sangat menghormati Kubilai dan Chabbi, dan memandang keluarga mereka sebagai penyelamat rakyat.

Rakyat Song di wilayah Dinasti Jin sudah lama menderita penindasan setelah Jin menguasai wilayah mereka, kekalahan Jin dalam sejumlah peperangan dengan pasukan Mongolia bahkan membuat sisa-sisa prajurit mereka bertindak lebih kejam terhadap rakyat. Setelah mengalahkan pasukan Jin, pasukan Mongolia yang saat itu di bawah pimpinan Guyuk Khan, sama sekali mengabaikan pengelolaan wilayah itu, dan langsung berarak pulang ke Utara.

Setelah Mongke menjadi Khan Agung pertama dari keluarga Tolui, ia menempatkan Kubilai di wilayah bekas jajahan Jin. Sejak awal Kubilai dan Chabbi sudah menyadari kondisi wilayah tersebut, bahkan Kubilai secara pribadi telah terlibat secara langsung bersama sejumlah sahabatnya dari suku Han untuk membebaskan rakyat setempat dari teror para bandit yang merajalela di daerah itu. Berita yang tersebar adalah para prajurit Mongolia telah melakukan perampokan, perkosaan, dan berbagai kejahatan lain di sejumlah tempat yang sebelumnya adalah wilayah Jin. Setelah Kubilai menyelidiki hal ini, ia menemukan bahwa sebagian besar kejahatan itu dilakukan oleh para bandit lokal, dan sebagian lagi dilakukan oleh sisa-sisa prajurit Jin yang telah kehilangan komandan mereka.

Tahun 1258

Ketika pasukan Mongolia yang dipimpin langsung oleh Mongke memasuki wilayah Song, ia berarak menuju ke Gunung Liupan. Mereka berarak pada malam hari untuk menghindari perhatian penduduk setempat. Pasukan mereka dibagi menjadi beberapa kelompok.

Suatu malam para prajurit yang berarak di barisan belakang didatangi sejumlah besar orang aneh yang tidak diketahui dengan jelas dari mana mereka muncul. Mereka membawa beberapa ekor macan tutul besar dan binatang buas lainnya.

Orang-orang ini adalah tim kiriman Yang Guo, yang saat itu sedang menyiapkan ‘hadiah ulang tahun’ untuk Guo Xiang. Mereka membakar sejumlah besar kereta prajurit Mongolia yang membawa bahan-bahan makanan. Mereka juga menimbulkan kekacauan dengan membunuh kuda-kuda pasukan itu. Dalam kekacauan itu beberapa ribu prajurit tewas di tangan para pendekar Jianghu pimpinan Yang Guo ini. Setelah melakukan aksi ini, mereka dengan cepat menghilang tanpa bisa dikejar ke dalam hutan. Ketika mengamati jenazah para prajurit yang tewas, mereka menemukan bahwa semua daun telinga prajurit itu telah dipotong.

Yang mereka saksikan di tengah kekacauan itu adalah seekor elang raksasa yang sangat jelek menukik tajam dari langit, dengan membawa seorang pria yang sebelah tangannya buntung. Kibasan lengan jubah pria itu mampu membuat puluhan prajurit terpental beberapa puluh meter.

Xiang Yang, 1259

11 Agustus 1259, di luar Benteng Pertahanan Xiang Yang, Mongke Khan yang memimpin penyerbuan pasukan Mongolia secara tak terduga tewas. Pasukan Mongolia bimbang dan tak tahu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya.

Akhirnya tibalah surat perintah dari Ariq Boke yang mengatakan supaya mereka merahasiakan kematian Khan Agung, dan membawa jenazahnya pulang ke Karakorum.

Saat itu Kubilai masih berada di markasnya sendiri. Gara-gara sengketa dengan para auditor yang dipimpin oleh Alamdar sebelumnya, hubungannya dengan Mongke retak. Sorghaghtani Beki yang saat itu tinggal bersama keluarganya sangat berduka setelah mengetahui kejadian tersebut, dan berkata kepada Kubilai dan Chabbi, “Aku sebelumnya sudah merasa kejadian semacam ini akan muncul. Kalian semua adalah anak-anakku sendiri. Mengenai jabatan Khan Agung ini, kalian harus ingat baik-baik, dari semua keturunan Genghis Khan, tidak ada seorang pun yang tidak punya ambisi untuk menjadi seorang Khan Agung.” Ia menggenggam tangan Kubilai ketika berbaring sakit di kamarnya, menatapnya dengan lembut sambil berkata, “Kau mengalah kepada Mongke dalam pemilihan Khan yang lalu, saat itu aku tahu kau bisa diandalkan untuk menjaga kedamaian keluarga kita.” Lalu ia meraih tangan Chabbi sambil berkata, “Aku tahu kau bermaksud baik dengan memilih Kuzar sebagai selir Kubilai, tapi kadang-kadang kau kurang berhati-hati pada waktu bertindak.”

Ia tampak melamun, pandangannya menerawang jauh, teringat akan suaminya, Tolui. Akhirnya ia membuat tanda salib dan memejamkan matanya, dan tidak mengatakan apa-apa lagi.

Tak lama setelah itu, Sorghaghtani Beki meninggal dunia di wilayah Song Utara, markas besar Kubilai. Untuk menghormati ibunya, Kubilai mengadakan upacara sesuai dengan agama Kristen yang dipegang sampai detik terakhir oleh Sorghaghtani Beki. Ia dimakamkan di sebuah Gereja di Gansu.

Sorghaghtani Beki memiliki hubungan dekat dengan sejumlah pemimpin agama lain di wilayah Song Utara ini, termasuk dengan seorang biksu dari wilayah Song Utara yang bernama Haiyun. Ketika putra pertama Kubilai lahir pada tahun 1243, Haiyun memberinya nama Zhenjin, yang berarti ‘Emas Murni’.

Kubilai dan Chabbi menyimpan baik-baik pesan-pesan terakhir Sorghaghtani Beki dalam hati mereka. Kubilai ingin berdamai dengan adiknya, Ariq Boke. Tetapi adiknya menyimpan dendam pribadi yang sejauh ini tidak banyak diketahui orang lain.

Di masa lalu ia kebetulan bertemu dengan seorang gadis muda Mongolia dengan perawakan atletis, yang pandai menunggang kuda, memanah, dan bahkan dalam olah raga gulat ala Mongolia. Ariq Boke jatuh cinta pada pandangan pertama, dan mendekati gadis itu. Mereka berteman dekat, dan Ariq Boke secara alamiah beranggapan bahwa Kuzar menyambut cintanya. Ketika ia memberikan sebuah pisau sebagai tanda mata, Kuzar memberinya sebuah mantel bulu hasil buatannya sendiri.

Di luar dugaannya, Kuzar ternyata mendekati Chabbi dan dengan lugu mengatakan bahwa dirinya sangat menyukai Kubilai. Saat itu Chabbi yang baru melahirkan Zhenjin mendapat pemberitahuan dari tabib bahwa kondisinya sangat lemah, dan ia tidak dianjurkan untuk melahirkan anak lagi.

Sebagai istri Kubilai yang saat itu menguasai bekas jajahan Dinasti Jin, dan menempati istana yang dulunya ditempati oleh Wanyan Honglie, dengan jabatan sebagai ‘Wangye’, ia merasa bahwa Kubilai seharusnya memiliki lebih banyak keturunan. Di masa peperangan seperti ini segala hal yang tak terduga bisa terjadi, tak ada yang tahu apakah Zhenjin akan tumbuh dewasa dengan selamat. Bahkan seandainya begitu, siapa yang bisa menjamin bahwa Zhenjin akan memiliki seorang anak laki-laki sebagai ahli waris?

Ia sangat tersentuh melihat ketulusan Kuzar. Gadis ini lugu dan bicara langsung seperti umumnya perempuan Mongolia, dan ia sudah agak lama dekat dengan Kuzar. Ia merasa cukup mengenalnya. Karena itu ia membuat rencana untuk mendekatkan Kuzar dengan Kubilai, dan akhirnya rencana itu berjalan cukup mulus, meskipun awalnya Kubilai kurang menyukai usulnya. Kuzar menjadi seorang selir.

Tetapi beberapa hari berikutnya ia dikejutkan oleh kedatangan Ariq Boke yang saat itu sedang mengunjungi keluarga mereka. Tanpa menanyakan lebih jauh, Ariq Boke melontarkan kata-kata pedas dengan penuh emosi. Chabbi tercengang, baru setelah beberapa menit akhirnya ia mengerti apa yang telah terjadi. Tetapi hubungan mereka dengan Ariq Boke tidak lagi bisa diperbaiki.

Dari Liu Bingzhong, mantan seorang biksu, sahabat dekat Kubilai, yang sekarang menjadi penasihatnya, Chabbi tahu bahwa Ariq Boke punya pandangan yang sangat berbeda dengan Kubilai. Ia melihat kedekatan Kubilai dengan sejumlah besar ahli silat dari Jianghu, dan sejumlah pemuka agama dari suku Han, sama sekali bukan sesuatu yang baik.

Setelah Kuzar menjadi selir Kubilai, berikutnya muncul Alamdar yang membawa amanat dari Mongke Khan untuk mengaudit administrasi yang dikelola Kubilai dan jajarannya. Karena Kubilai saat itu sedang berperang untuk menaklukkan Dali yang jauh di Selatan, maka secara otomatis semua jajarannya yang ditinggalkan di istana mencari Chabbi untuk minta pendapatnya. Chabbi menghadapi Alamdar yang adalah mertua dari Mongke.

Setelah melalui perdebatan sengit, awalnya Chabbi mengira ia sudah berhasil membuat Alamdar dan jajarannya tidak berkutik. Tak disangka akhirnya masalah itu berkembang sampai ke tahap kristis bagi hubungan antara Mongke dengan Kubilai. Secara diam-diam Chabbi menyuruh Liu Bingzhong menyelidiki urusan itu lebih teliti, dan ternyata mereka menemukan bahwa di Karakorum Ariq Boke ikut terlibat dalam urusan itu.

Sekarang Chabbi merasa bahwa ucapan ibu mertuanya benar. Tapi setelah kematian Mongke, urusan dengan Ariq Boke berkembang menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Mahmud Yalavach, salah seorang penasihat Kubilai dari Khwarezmia, memperburuk keadaan ini dengan sikapnya yang kurang menghargai para pejabat dari suku Han.

Sekarang ini Kubilai sudah berangkat ke Selatan untuk mendukung pasukan Mongke yang tanpa pemimpin. Chabbi akhirnya menulis surat kepada Kubilai untuk memberitahu bahwa Ariq Boke menggalang pasukan untuk menentangnya.

Tahun 1260, Perpecahan Dalam Keluarga Tolui

Setelah membaca pesan dari Chabbi, Kubilai memutuskan untuk segera berangkat ke Utara, menuju padang rumput Mongolia. Tetapi sebelum ia tiba di sana, ia mendapat kabar bahwa Ariq Boke telah mengadakan Kurultai2, yang akhirnya mengeluarkan keputusan untuk mengangkatnya sebagai Khan Agung dengan dukungan sebagian besar dari para keturunan langsung Genghis Khan.

Kubilai dan adiknya yang menguasai Ilkhanate Persia, Hulagu, menentang keputusan itu.

Para pengikut Kubilai dari suku Han menganjurkan supaya Kubilai mengambil alih posisi Khan Agung. Hampir semua pangeran dan pejabat yang berkuasa di wilayah Song Utara dan Mancuria mendukung gagasan ini.

Begitu tiba kembali di istananya, Kubilai mengadakan Kurultai sendiri. Sebagian kecil dari keluarga bangsawan Mongol mendukung klaimnya sebagai Khan Agung, meskipun jumlahnya kecil, tapi para pendukung itu adalah perwakilan dari kalangan Borjigin, kecuali kalangan Jochi.

Kurultai itu memproklamirkan Kubilai sebagai Khan Agung pada tanggal 15 April 1260, di samping fakta bahwa klaim Ariq Boke sebagai Khan Agung sudah jelas juga sah.

Peristiwa ini mengawali peperangan antara Kubilai dan Ariq Boke yang menghancurkan Karakorum. Di Shaanxi dan Sichuan, pasukan Mongke mendukung Ariq Boke.

Kubilai mengirimkan Lian Xixian ke Shaanxi dan Sichuan, di mana mereka mengeksekusi administrator sipil Ariq Boke, Liu Taiping. Mereka menarik sejumlah jendral yang masih terombang-ambing ke pihak mereka.

Untuk mengamankan posisinya di Selatan, Kubilai memakai pendekatan diplomatis dengan mengirim utusan kepada Jia Shidao di Hangzhou. Sebelumnya Jia Shidao sempat mengirimkan sejumlah hadiah untuk Kubilai dengan harapan akan bisa bekerja sama di masa depan. Awalnya Kubilai menolaknya, tetapi setelah memikirkan butir-butir perjanjian yang diajukan, ia menerimanya.

Di luar dugaannya, saat ini Jia Shidao berubah pikiran dan malah menangkap utusannya.

Karena sedang menghadapi masalah genting yang membelitnya dari Utara, Kubilai memutuskan untuk mengabaikan masalah dengan Jia Shidao untuk sementara.

Kubilai mengirim Abishqa sebagai Khan baru bagi kalangan Chagatai. Ariq Boke menangkap Abishqa, dua orang pangeran, dan seratus orang lainnya, lalu ia menempatkan orang kepercayaannya sendiri, Alghi, sebagai Khan di wilayah teritorial Chagatai.

Dalam pertempuran pertama antara Kubilai dan Ariq Boke, Ariq Boke kalah dan Alamdar yang bertindak sebagai komandan andalannya tewas di medan tempur. Untuk melampiaskan amarahnya dan membalas kekalahan itu, Ariq Boke membunuh Abishqa.

Kubilai kemudian memotong jalur pengiriman bahan-bahan pangan ke arah Karakorum dengan dukungan saudara sepupunya, Kadan, putra Ogedei Khan. Dengan cepat Karakorum jatuh ke tangan pasukan raksasa Kubilai. Tetapi begitu ditinggalkan oleh Kubilai, untuk sementara Ariq Boke kembali menguasainya pada tahun 1261.

Tahun 1262, Guo Xiang dan Zhang Junbao

Gubernur Yizhou dari suku Han, Li Tan, melakukan pemberontakan melawan Mongolia pada bulan Februari 1262. Kubilai memerintahkan penasihatnya, Shi Tianze dan Shi Shu untuk menyerang Li Tan.

Kedua pasukan itu menghabisi pemberontakan Li Tan hanya dalam tempo beberapa bulan, dan Li Tan dieksekusi. Selain itu mereka juga mengeksekusi mertua Li Tan, Wang Wentong, yang telah diangkat menjadi Kepala Administrasi di Sekretariat Pusat3 di awal kekuasaan Kubilai, dan telah menjadi pejabat yang paling dipercaya oleh Kubilai dari kalangan suku Han. Insiden ini menimbulkan ketidakpercayaan di pihak Kubilai terhadap suku Han.

Konon, setelah ia menjadi kaisar, Kubilai melarang keras penganugerahan gelar bagi para pemimpin perang dari kalangan suku Han.

Di saat-saat seperti ini Kubilai teringat kepada Guo Jing, dan sangat menyayangkan kenyataan bahwa ia tidak akan pernah bisa bekerja sama dengan Paman Guo ini. Guo Jing mempertahankan Xiang Yang dengan luar biasa gigih, sementara saat ini ia sendiri harus memusatkan perhatiannya dalam peperangan melawan Ariq Boke, adiknya sendiri.

Kubilai tahu dari ayahnya bahwa Paman Guo dan bibinya, Huazheng, adalah tunangan abadi. Akhirnya Huazheng memilih untuk tidak menikah sampai saat ini, dan Paman Guo menikah dengan seorang perempuan dari suku Han. Ia pernah menceritakan masalah ini kepada bibinya, dan berharap untuk mendapatkan dukungan, tetapi bibinya menggelengkan kepala dengan mata menerawang jauh. “Aku tidak bisa membantumu,” katanya. “Aku sendiri pernah melakukan kesalahan yang sampai sekarang masih kusesali, karena gara-gara tindakanku bibi Li Ping4 tewas bunuh diri. Saat itu justru kakekmu ingin menyerang wilayah Song seperti yang ingin kau lakukan saat ini.”

Kubilai mencoba membujuknya dengan mengatakan bahwa saat ini situasinya berbeda, karena Jia Shidao menyalahgunakan kekuasaan sebagai Wali Negeri untuk menipu rakyat, dan juga melanggar kesepakatan dengan dirinya. Tetapi Huazheng hanya diam dan tidak mengatakan apa-apa lagi.

Ketika Kubilai berjalan pergi dengan murung, Huazheng mengawasi punggungnya, teringat masa lampau yang sudah sangat lama berlalu. Menjelang ayahnya meninggal, Guo Jing dan Huang Rong pernah kembali ke Mongolia bersama Tolui untuk menemui ayahnya. Ia dari kejauhan melihat ayahnya berusaha memanah elang, dan gagal. Saat itu ia mengajak Kubilai yang baru berusia dua belas tahun. Ia sangat dekat dengan anak-anak Tolui dan Sorghaghtani Beki, tetapi ia paling dekat dengan Kubilai.

Setelah ayahnya meninggal, Huazheng hampir tidak pernah lagi kembali ke padang rumput Mongolia. Ia tinggal di dekat tembok kota Xiang Yang. Ia tahu jelas ketika Guo Jing memutuskan untuk membela Xiang Yang mati-matian. Ia sangat berduka setelah mendengar Tolui meninggal. Setelah Kubilai menjadi penguasa di wilayah Song Utara, ia mendirikan kemah yang sangat indah untuk Huazheng dan cukup sering menengoknya. Ke mana pun ia pergi, pasti ada satu dua orang pesilat dari suku Han yang mengawalnya dari jauh. Kehidupan Huazheng tidak pernah kekurangan. Tetapi ia tidak pernah bisa melupakan Guo Jing.

Huazheng sering mondar-mandir ke Xiang Yang dan sudah cukup fasih berbahasa Han, selama di situ ia berbahasa Han dan mengenakan pakaian seperti yang mereka kenakan pada umumnya. Ia pernah melihat Guo Xiang melintasi rumahnya di atas punggung keledai, sambil membawa pedang pendek di ikat pinggangnya. Ia mengenalinya sebagai putri Guo jing yang kedua.

Dilihatnya saat itu Guo Xiang tidak berbahagia. Ia turun dari keledainya, lalu duduk melamun sendirian di sebuah batu besar sambil memandang ke kejauhan. Tempat itu tidak jauh dari rumah yang ditinggali Huazheng. Ia mendekati anak itu dan mengajaknya bicara. Guo Xiang terlihat lugu dan tidak malu-malu, ia dengan lancar menceritakan isi hatinya di hadapan Huazheng. “Mungkin ia beranggapan aku toh tidak mengenalnya,” pikir Huazheng. Ia tersenyum, lalu berkata dengan nada ringan, “Kau tidak perlu bersedih, kakakmu yang baik itu jauh lebih tua, dan lagi sangat mencintai istrinya. Mungkin saja kau hanya terpesona sesaat.”

Guo Xiang tertawa, tetapi kembali pada lamunannya. “Memang hanya Nona Long yang bisa menemaninya…” gumamnya lirih. Ia tiba-tiba seperti baru tersadar, lalu menatap Huazheng sambil memiringkan kepalanya ke satu sisi. “Bibi, kita baru ketemu, tapi ternyata aku menceritakan isi hatiku kepada Bibi. Aku bahkan belum tahu nama Bibi.”

“Aku orang Mongolia,” jawab Huazheng dengan santai. “Aku biasa dipanggil Huazheng.”

Guo Xiang kelihatannya sama sekali tidak terpengaruh oleh ‘orang Mongolia’ itu. Ia tersenyum polos dan berkata, “Namaku Guo Xiang. Seperti nama kota Xiang Yang.”

“Aku tahu,” jawab Huazheng.

“Bibi mengenalku, atau orang tuaku?” tanya Guo Xiang lagi.

Huazheng tersenyum. Ia menjawab dengan nada biasa, tapi bukan langsung menjawab pertanyaan itu sendiri, “Orang tuamu sangat terkenal, mana ada orang di Xiang Yang yang tidak mengenal mereka? Kau putri mereka yang kedua, kau masih punya seorang kakak perempuan dan adik laki-laki. Betul tidak?”

Sebenarnya pada saat Guo Xiang dilahirkan, Huazheng ingin masuk untuk membantu, tetapi saat itu Xiao Longnu ada di situ dan sudah menolong Huang Rong. Ia menyaksikan bagaimana Xiao Longnu membawa lari Guo Xiang yang masih bayi. Huazheng tentu saja tidak bisa mengejar Xiao Longnu.

Ia melihat saat ini Guo Xiang menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Bibi tinggal di mana?” tanyanya.

Huazheng menunjuk ke arah sebuah tenda besar yang didirikan Kubilai. Ia berkata sambil tersenyum, “Orang Mongolia sudah terbiasa hidup seperti ini, aku tidak terbiasa dengan sebuah rumah besar yang tidak bisa dipindah-pindahkan.”

Guo Xiang baru menyadari di dekat hutan itu ada sebuah tenda besar yang bagus, tapi ia tidak melihat ada siapapun di sekitar situ. “Sendirian?” tanyanya dengan penasaran. “Bibi Huazheng ini cantik sekali, tapi usianya pasti sudah tidak muda lagi, setidaknya seusia dengan ibuku,” pikirnya.

Huazheng mengangguk. “Tapi sesekali kalau aku memerlukan bantuan, pasti ada teman-teman datang menolongku,” katanya dengan santai. Ia tidak ingin mengatakan bahwa ia mengenal Guo Jing secara pribadi, setidaknya untuk saat ini. Tapi ia merasa Kubilai akan senang kalau bisa mengenalnya secara pribadi. Ia tahu sebelumnya Guo Xiang pernah dijadikan sandera oleh Jinlun Fawang, tapi saat ini Jinlun Fawang sudah tewas di tangan Yang Guo. Dan Kubilai bukan Mongke. Ia secara pribadi sangat menyukai Guo Xiang.

Meskipun begitu, mengingat ia pernah melakukan kekeliruan fatal yang berakibat Guo Jing kehilangan ibunya, sekarang ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Karena itu ia masih mempertimbangkan untung ruginya, seandainya anak ini sampai bertemu dengan Kubilai atau jajarannya.

Huazheng memang seorang wanita Mongolia, dan bahkan seorang putri Genghis Khan. Tetapi sejak melakukan kekeliruan yang menewaskan ibu Guo Jing, ia sudah puluhan tahun merenungkan tentang kehidupan. Ia sering bertanya-tanya, mengapa ayahnya begitu ingin merebut tanah-tanah milik orang lain? Padang rumput Mongolia tidak akan penuh oleh orang-orang Mongolia beserta ternak-ternak mereka. Mengapa harus saling berperang?

Seperti yang saat ini sedang terjadi, dua orang keponakannya, Kubilai dan Ariq Boke, sedang berperang untuk memperebutkan jabatan Khan Agung. Seandainya ayahnya masih hidup dan melihat semua ini, alangkah kecewanya dia. Tapi ayahnya dan Jamukha juga berperang, bukankah seharusnya mereka bersaudara angkat? Huazheng sangat bangga setelah tahu hingga detik terakhir, Tolui tidak pernah bermusuhan dengan Guo Jing. Mereka berdua tidak melupakan ikrar sebagai saudara, tidak seperti ayahnya dengan Paman Jamukha. Tetapi bagaimanapun juga, mereka akhirnya berjauhan karena perang. Perang, perang, sekali lagi perang! Entah kapan mulainya, Huazheng sangat membenci perang. Seandainya saja ia punya kekuatan, maka ia akan menghentikan peperangan antara Mongolia dengan Dinasti Song ini. Tapi hal ini hanya impian kosongnya.

Ia menemani Sorghaghtani Beki sebelum meninggal, dan kakak iparnya ini berpesan supaya ia bersedia membantu seandainya terjadi hal semacam ini, tetapi apa yang sedang berlangsung jauh di luar kekuasaannya.

Huazheng tidak terlalu menyukai Mongke atau Ariq Boke. Kedua keponakannya itu di matanya hampir sama seperti Jochi dan Chagatai. Saat itu kalau bukan karena Guo Jing mereka berdua pasti sudah saling membunuh. Chabbi pernah menceritakan apa yang terjadi, tapi sayangnya sudah terlambat. Ariq Boke bukan tipe orang yang mau mendengarkan nasihat. Sebaliknya, Kubilai orang yang sangat toleran. Ia bisa melihat bahwa Kubilai mengalah dalam pemilihan Khan sebelumnya. Kubilai adalah cucu kesayangan Genghis Khan. Paman Jenggot Panjang5, Chilaun dan Subutai pasti tahu siapa yang lebih pantas menjadi Khan, tapi Kubilai malah mendukung Mongke. Dari cerita Chabbi, Huazheng tahu Kubilai membakar surat wasiat Genghis Khan yang menunjukkan bahwa setelah Ogedei meninggal, posisi Khan Agung harus diwariskan kepada Kubilai.

Meskipun Kubilai sangat toleran, tetapi kalau Ariq Boke terus mendesak Kubilai, secara alamiah Kubilai pasti akan tetap melawan. Sekarang ini sebenarnya Huazheng sedang mencemaskan kedua keponakannya ini. Ia belum tahu apa yang seharusnya dilakukan.

Berpikir sampai di sini tanpa sadar ia menghela nafas panjang. Sejak perkenalannya yang pertama dengan Guo Xiang, ia terus memikirkan masalah peperangan yang sedang berkecamuk ini. Kalaupun persengketaan kedua keponakannya nanti berakhir, tak peduli seperti apa pun hasilnya, Mongolia akan tetap berusaha menyerang Song Selatan. Dan kalau itu sampai terjadi, entah apa yang akan terjadi dengan keluarga Guo Jing.


Perang saudara antara Kubilai Khan dan Ariq Boke secara tidak langsung menguntungkan Guo Jing yang masih terus berada di Xiang Yang. Setidaknya untuk beberapa tahun keadaan kota itu tetap aman.

Setelah bercakap-cakap dengan Huazheng di pinggiran kota, Guo Xiang meneruskan perjalanannya yang tanpa tujuan pasti. Sambil duduk di punggung keledainya ia teringat peristiwa terakhir sebelum berpisah dengan Yang Guo dan Xiao Longnu di Hua Shan.

Guo Xiang teringat akan patung giok yang menurut Yang Guo dan Xiao Longnu sangat mirip dengan guru besar mereka, Lin Chaoying. Menurut mereka, Lin Chaoying semasa hidupnya suka berkelana sambil menolong orang lain. Ketika mereka bertiga sedang berjalan di dalam gua itu, tiba-tiba Xiao Longnu merasa ada seseorang sedang berjalan mendekat. Guo Xiang masih ingat awalnya ia tidak terlalu mempedulikan kehadiran orang lain di situ. Ia merasa seandainya saja bisa terus berdekatan dengan Yang Guo dan Xiao Longnu seperti saat itu, rasanya ia sudah tidak menginginkan apa-apa lagi di dunia ini.

Tetapi ternyata ada dua orang yang datang, dan mereka adalah Yin Kexi dan Xiaoxiang Zi, yang pernah dilihatnya ketika ia disandera oleh Jinlun Fawang. Kedua orang itu sedang membicarakan tentang dua orang lain yang katanya biksu. Dan kedua biksu itu katanya ingin menangkap mereka. Tepat pada saat itu kakaknya, Guo Fu, memanggil mereka bertiga untuk makan malam. Mereka tidak menanggapinya karena takut ketahuan oleh Yin Kexi dan Xiaoxiang Zi. Lalu Guo Fu pergi, tetapi berikutnya muncullah biksu yang dimaksud sambil berteriak-teriak mengatakan bahwa Yin Kexi dan Xiaoxiang Zi adalah pencuri buku.

Ia ingat pendatang baru itu ternyata seorang biksu berjubah abu-abu yang menggandeng seorang remaja yang bukan biksu. Saat itu biksu yang lebih tua mencari-cari kedua orang yang dituduhnya maling buku itu, tapi sepertinya tidak menemukan mereka, padahal kedua orang itu ada di dekatnya.

Pada saat itu Guo Xiang tidak bisa menahan diri dan berteriak, “Hei, Dashi, mereka berdua ada di sini!”

Tak terduga, beberapa senjata rahasia langsung melesat ke arahnya. Kalau bukan Yang Guo yang menyelamatkannya, mungkin saat itu nyawanya sudah lenyap.

Saat itu ia mengajak Yang Guo mengejar kedua biksu itu, karena sepertinya mereka tidak mendengar seruannya. Tapi saat itu Yang Guo mengutip salah satu pepatah, “Kalau memang milik kita, jarak seribu li bukan halangan. Tapi kalau bukan milik kita, berdiri berhadapan pun tidak akan ketemu.”

Sekarang ini, di atas punggung keledainya, Guo Xiang mengulangi kalimat itu, lalu bergumam sendiri, “Betul juga, Yang Dage bukan milikku, meskipun berdiri berhadapan dia akan tetap tidak melihatku, di matanya hanya ada Long Jiejie.”

Sebenarnya pada saat peristiwa itu terjadi, Yang Guo sedang memberi isyarat kepada si biksu bahwa kedua orang yang dicari ada di depan matanya. Ia berbicara dengan suara sangat halus, tetapi apa yang diucapkannya bisa didengar oleh orang yang dituju. Tetapi pikiran Guo Xiang sedang melantur, hatinya gundah karena cinta yang berkembang di hatinya tepat di saat usianya baru menginjak remaja. Dan sayangnya cinta itu dirasakannya sangat tidak mungkin dilanjutkan lagi.

Ia ingat ketika di gua itu si biksu segera berterima kasih dan menjawab dengan cara yang sama.

Guo Xiang sekarang ingat, nama biksu itu Jueyuan Dashi, sedangkan anak muda itu bernama Zhang Junbao. Mereka berdua berasal dari Kuil Shaolin di Gunung Shaoshi.

Jueyuan berusia sekitar lima puluh tahun, berpenampilan mirip dengan seorang sastrawan, meskipun kepalanya botak. Tutur katanya sangat sopan dan halus, meskipun setelan biksunya kasar dan seadanya.

Yin Kexi dan Xiaoxiang Zi mencuri buku dari perpustakaan Shaolin, yang menjadi tanggung jawab Jueyuan, karena itulah mereka mengejar kedua orang ini.

Saat itu Jueyuan menolong kedua orang itu karena melihat mereka tak berdaya ketika menghadapi empat orang Mongolia. Kemudian Jueyuan membawanya ke kamarnya setelah menangani keempat orang itu. Jelas sekali mereka sedang membohongi Jueyuan. Mana mungkin ahli kungfu setingkat Yin Kexi dan Xiaoxiang Zi diperdaya oleh empat orang prajurit Mongolia?

Akhirnya setelah beristirahat beberapa hari di situ, dengan alasan bosan mereka berdua ingin meminjam sesuatu untuk dibaca. Jueyuan meminjamkan beberapa kitab berisi ajaran agama Buddha. Teapi ketika Jueyuan dan Junbao sedang bermeditasi, Yin Kexi dan Xiaoxiang Zi mencuri kitab lain yang sedang dibaca oleh Zhang Junbao. Menurut keterangan Jueyuan, kitab itu adalah Nijia Jing, yang dibawa oleh guru besar mereka, Damo Dashi, dari daerah Barat. Kitab itu ditulis dalam bahasa Sansekerta.

Saat itu Yideng Dashi yang juga seorang biksu hadir di situ, dan ia memahami bahasa Sansekerta.

Yin Kexi dan Xiaoxiang Zi berkelit dan bersikeras tidak mengaku bahwa mereka telah mencuri kitab. Akhirnya Jueyuan Dashi menerangkan panjang lebar tentang berbagai terjemahan kitab Nijia Jing, yang sekarang ini Guo Xiang sama sekali tidak bisa mengingatnya lagi. Pendeknya, Jueyuan ingin meminjamkan terjemahan yang disimpannya dari kitab yang sama, tetapi dari versi yang lebih mudah dipahami, asalkan mereka mengembalikan kitab asli milik Shaolin yang telah mereka curi.

Tiba-tiba Zhang Junbao bersuara, “Shifu, dua penjahat ini tidak punya niat baik, mereka hanya ingin buku berharga. Aku tidak percaya mereka tertarik dengan agama kita!”

Semua orang kaget mendengar suaranya. Ia baru berusia entah dua belas atau tiga belas tahun, agak lebih muda dari Guo Xiang, tetapi suaranya lantang dan jernih seperti lonceng. Mereka mengamati penampilannya yang tidak biasa. Dahinya sempit, matanya bulat dan besar, lehernya kurus, dadanya lebar dan telinganya besar, kulitnya merah. Meskipun masih kecil tapi tingkahnya mirip orang dewasa.

“Adik kecil,” kata Yang Guo. “Namamu siapa?’

“Murid Xiaosheng bermarga Zhang, namanya Junbao,” jawab Jueyuan mewakili muridnya. “Dia membantu Xiaosheng di perpustakaan sejak kecil, menyapu lantai dan menyirami tanaman. Dia memanggil Xiaosheng ‘Shifu’, tapi dia tidak mencukur rambutnya, karena dia seorang murid awam6.”

Yang Guo sangat terkesan, ia memuji, “Guru yang hebat akan menghasilkan murid yang hebat. Murid Dashi ini luar biasa.”

“Itu bukan soal ‘guru hebat’. Anak ini memang punya bakat yang tak tercela,” kata Jueyuan merendah. “Sayangnya Xiaosheng tidak tahu apa-apa, aku kuatir tidak akan berguna bagi anak ini. Junbao, kau sangat beruntung ketemu para ahli hari ini. Kau harus minta petunjuk. Ingat suatu pepatah bilang, ‘mendengarkan ucapan seorang ahli lebih berharga daripada membaca buku selama sepuluh tahun’.”

“Betul,” jawab Junbao, sementara dalam hati ia berpikir, “Sekarang ini yang terpenting adalah mendapatkan buku itu kembali. Aku bisa minta petunjuk nanti…” Ia hanya menyimpan pikiran itu sendiri, dan tidak mengatakan apa-apa.

Zhou Botong tidak tahan lagi mendengar kata-kata Jueyuan yang halus.

“Hei, Yin Kexi, Xiaoxiang Zi!” omelnya. “Kalian bisa menipu Dashi, tapi tidak bisa menipuku! Kau tahu siapa saja Lima Pendekar Besar masa kini?”

“Aku tidak tahu,” jawab Yin Kexi. “Mohon beri petunjuk.”

“Bagus,” kata Zhou Botong dengan bangga. “Ini ada Si Sesat Timur, Semangat Barat, Pendekar Utara, Biksu Selatan dan Pusat Nakal! Yang nomor satu dan paling penting adalah Pusat Nakal ini. Kubilang kalian mencuri buku-buku itu, maka berarti kalian maling! Kalau bukan kalian malingnya, ya pasti dengan salah satu cara buku-buku itu sekarang ada di tangan kalian! Kalian harus kembalikan kepada biksu ini sekarang. Kalau kalian ragu-ragu, awaslah, aku akan memotong telinga kalian!”

Sambil bicara begitu, Lao Wantong melangkah maju dan merentangkan tangannya, siap untuk melakukan seperti apa yang baru diucapkannya. Yin Kexi dan Xiaoxiang Zi ketakutan. Mereka tahu pasti seperti apa kungfu Bocah Tua Nakal itu. Sementara mereka ragu-ragu, Jueyuan membuka mulutnya, “Zhou Shizhu keliru! Segala sesuatu ada aturannya. Dalam masalah Nijia Jing, kalau mereka bilang ‘meminjam’, berarti memang mereka meminjam buku itu. Kalau sebaliknya, berarti mereka memang tidak meminjamnya. Tapi kalau mereka meminjam, dan tidak mengakuinya, ya kita bisa bilang mereka melanggar peraturan.”

Zhou Botong tertawa terbahak-bahak. “Kalian lihat,” katanya. “Da Shifu luar biasa! Aku membantunya mendapatkan kembali buku itu, tapi dia malah membantu mereka bicara. Aturan macam apa itu? Da Shifu, aku ingin bicara. Aku ingin memastikan bahwa mereka mencuri buku. Kalau ternyata tidak, maka aku akan membawa mereka kembali ke Gunung Shaoshi supaya mereka bisa mencurinya. Entah mereka melakukannya atau tidak, mereka tetap pencuri!”

Ucapan Zhou Botong sangat tidak masuk akal, tapi Jueyuan menganggukkan kepala. “Zhou Shizhu, sekarang kau baru bicara. Hanya saja, mari kita ganti kata ‘mencuri’ dengan ‘meminjam tanpa ijin’. Kedua orang ini ingin meminjam, tapi mereka tidak punya ijin. Mereka membawa buku tanpa ijin.”

Mendengar diskusi itu semua orang tersenyum geli. Pembicaraan mereka tidak logis. Yang Guo tidak bisa menahan diri lagi, ia berdiri di depan Zhou Botong, menghadap ke arah Yin Kexi dan Xiaoxiang Zi sambil berkata, “Kalian membantu para tiran melakukan kejahatan! Kalian mengkhianati negara, bersekongkol dengan orang Mongolia! Kalian pantas mati untuk kejahatan ini. Di sini ada Yideng Dashi dan Jueyuan Dashi, mereka berdua tidak akan mengijinkan aku memukuli kalian sampai mati. Karena itu aku akan memberi kalian beberapa pilihan. Pertama, kembalikan buku yang kalian curi, dan jangan pernah menginjakkan kaki di Zhongyuan lagi. Kedua, kalian masing-masing akan menerima satu pukulanku. Entah kalian bakal mati atau hidup, biarkan nasib yang bicara!”

Kedua orang itu terlihat bimbang dan tidak berani menjawab. Beberapa saat kemudian barulah Yin Kexi buka mulut, “Yang Daxia, mari kita selesaikan urusan di antara kita nanti. Kalau bicara soal kungfu, kau jauh di atas kami berdua, kami tidak berani menyinggungmu. Tapi kalau soal buku, biarlah kami bicara dengan Jueyuan Dashi, kau tidak punya urusan dengan buku-buku itu kan, Yang Daxia?”

“Orang ini licik sekali,” pikir Guo Xiang saat itu. “Dia tahu jelas Jueyuan sabar. Yang Dage pasti tidak akan mengampuni mereka, jadi dia sengaja mengadu domba.”

Tapi saat itu Jueyuan mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, “Shizhu sangat masuk akal.”

Saa itu Guo Xiang melihat mata Zhang Junbao bersinar, seolah ingin menyerang. Yang Guo memberi isyarat dengan kedipan matanya, lalu bergerak ke belakangnya untuk mendukung niat itu.

Zhang Junbao mengerti isyarat itu. Ia maju mendekati Yin Kexi sambil berkata dengan lantang, “Yin Shizhu, saat itu aku sedang bermeditasi. Kau menyelinap masuk dan menotokku sampai tidak bisa bergerak. Lalu kau mengambil empat jilid buku Nijia Jing, betul tidak?”

Yin Kexi menggelengkan kepalanya. “Kalau aku ingin meminjam buku,” katanya berkelit, “maka aku pasti akan bicara baik-baik, dan kau pasti tidak akan menolak, kan? Kenapa aku harus menotokmu?”

“Ya, ya, itu betul,” kata Jueyuan.

“Kalian berdua ngotot bilang tidak mengambil buku,” kata Junbao tidak mau kalah, “kalau aku menggeledah kalian, pasti kalian tidak keberatan, kan?”

“Menggeledah orang sungguh tidak pantas,” kata Jueyuan. “Tapi urusan ini sangat rumit. Shizhu, kalian punya ide bagaimana bisa menyingkirkan kecurigaanku?”

Yin Kexi masih ingin membantah lagi, tetapi tiba-tiba Yang Guo berkata, “Jueyuan Dashi, aku yakin kedua orang ini sama sekali tidak berminat membaca buku agama Buddha! Jueyuan Dashi, apa mungkin ada sesuatu yang istimewa di dalam buku itu?”

Jueyuan terdiam sesaat, ia tampak berpikir keras. Tapi kemudian ia menjawab dengan suara dalam, “Sebagai biksu aku tidak boleh berbohong. Karena Yang Shizhu sudah bertanya, maka Xiaosheng harus memberimu jawaban yang sebenarnya. Di dalam Kitab Nijia Jing itu ada sebuah buku lain yang ditulis oleh Damo Dashi sendiri. Buku itu bernama Kitab Jiu Yang7.”

Semua orang tercengang. Di masa lampau, Kitab Sembilan Bulan8 sempat menimbulkan perkelahian sengit, menumpahkan darah banyak orang. Adalah Wang Chongyang yang memenangkan hak untuk memegang kitab itu dalam pertemuan di Hua Shan yang pertama. Tetapi Wang Chongyang adalah seorang terhormat yang tidak serakah. Ia memenangkan hak atas buku itu tetapi tidak mengambil keuntungan apa-apa dari isinya. Ia kemudian membacanya hanya karena penasaran. Ia lalu memisahkan kitab itu menjadi dua bagian. Ia ingin menghindarkan pertumpahan darah karena orang-orang saling berebut ingin memiliki buku itu. Tapi buku itu tetap saja menimbulkan malapetaka besar. Huang Yaoshi harus mengusir murid-muridnya, Zhou Botong ditawan di Pulau Bunga Persik, Ouyang Feng menjadi gila, dan secara tidak langsung Kaisar Duan menjadi seorang Yideng Dashi.

Ternyata selain Jiu Yin Zhen Jing, Guru Besar Shaolin, Damo Dashi juga pernah menulis Jiu Yang Zhen Jing. Buku itu punya bobot yang sama dengan Jiu Yin Zhen Jing, sesungguhnya kedua kitab itu saling mendukung. Hanya saja, nama Jiu Yang Zhen Jing tidak sepopuler Jiu Yin Zhen Jing. Saat itu baru pertama kalinya semua orang di situ mendengarnya. Tak heran Huang Yaoshi dan yang lain tercengang dan takjub.

Jueyuan mengabaikan mereka semua dan melanjutkan penuturannya, “Perpustakaan adalah tanggung jawab Xiaosheng. Sudah jadi tugasku untuk memeriksa setiap buku yang ada di situ. Kitab Jiu Yang berbeda dari buku lain. Buku itu mengandung pelajaran untuk membuat tubuh kita sehat dan kuat, seperti ilmu ‘Mengganti Otot Membersihkan Cedera’. Aku sudah mempelajari semua ilmu ini selama bertahun-tahun, dan terbukti, aku tidak pernah sakit. Aku sudah mengajarkan pelajaran dasar dari buku itu kepada Junbao selama beberapa tahun. Meskipun pelajaran itu adalah hasil kerja Damo Dashi sendiri, tapi tetap tidak bisa menandingi nilai Nijia Jing, yang mengandung ajaran agung. Shizhu tidak mengerti bahasa Sansekerta, buku itu tidak berguna bagimu. Sebaiknya kembalikan saja.”

Yang Guo heran. Ia tidak mengerti maksud biksu itu. Ia berpikir, “Pelajaran tentang kesehatan? Ini sangat mencurigakan. Biksu ini sangat hebat. Kalau aku tidak tahu, pasti aku akan mengira dia hanya pura-pura. Entah kenapa Wuxiang Dashi dan Wuse Dashi — yang terang-terangan hidup bersamanya puluhan tahun — sama sekali tidak menyadari ada seorang ahli sekaliber dia di tengah-tengah mereka.”

Di lain pihak, Yideng Dashi bisa melihat bahwa Jueyuan telah mencapai tingkat sempurna, itu sebabnya ia bisa bersikap selugu itu.

Yin Kexi menepuk-nepuk tubuhnya sendiri. “Aku tidak menyimpan apa-apa, apanya yang harus dikembalikan?” katanya dengan lantang.

“Aku juga sama,” kata Xiaoxiang Zi sambil mengebaskan jubahnya.

“Biar kulihat!” seru Zhang Junbao. Tubuhnya melayang ke arah Yin Kexi. Ia mencekal dadanya.

Yin Kexi memutar lengan kirinya, menghindari serangan itu. Lengan kanannyamendorong bahu Junbao. Tampaknya gerakan itu ringan, tetapi hasilnya tubuh Junbao ambrok ke tanah.

“Aha! Itu keliru, Junbao!” seru Jueyuan. “Kau harus bersabar. Tenagamu harus terpusat seperti gunung. Akan kau lihat sendiri dia bisa menjatuhkanmu atau tidak…”

Zhang Junbao melompat bangkit. “Betul, Shifu!” katanya. Lalu ia melompat ke arah Yin Kexi lagi.

Semua orang lain kehilangan kesabaran mereka, tapi mereka senang sekali mendengar nasihat Jueyuan. Mereka berpikir, “Biksu lemah lembut ini ternyata bisa juga mendorong muridnya untuk berkelahi…”

Yin Kexi mengulangi gerakan sebelumnya. Ia mengelak lalu mendorong. Tetapi kali ini Junbao hanya terhuyung sedikit dan tidak jatuh seperti sebelumnya. Yin Kexi tercengang. Ia takut kepada Zhou Botong, Yang Guo, Guo Jing dan yang lain. Di luar dugaannya ternyata ia bahkan tidak mampu mengalahkan anak kecil ini. Ia dengan mendorong lebih keras.

Zhang Junbao melawan dengan gigih. Tetapi tenaga Yin Kexi tiba-tiba lenyap dan ia jatuh terjerembab, mukanya menghadap tanah. Yin Kexi tertawa. “Xiao Shifu, jangan berlutut di hadapanku.” ledeknya.

Muka Junbao memerah. Ia mendekati gurunya dan berkata, “Shifu, aku gagal.”

Jueyuan menggaruk kepalanya yang botak. “Dia dengan sengaja memakai ‘kekosongan’,” katanya. “Dia memakai ketiadaan untuk melawan keberadaan. Ketika kau menggunakan tenagamu, kau harus menggunakannya dengan bebas lepas, jangan pedulikan arah kekuatan lawanmu. Coba kau lihat gunung itu,” Ia menunjuk ke arah puncak gunung di sebelah barat. “Puncak itu sudah berdiri di situ sejak ribuan tahun yang lalu sampai hari ini. Badai dan hujan datang dari sana-sini, puncak itu tidak bergerak dari tempatnya, tapi puncak itu juga tidak dengan sengaja menantang kekuatan alam.”

Zhang Junbao sangat pintar, ia dengan mudah memahami maksud gurunya. Ia mengangguk. “Baik, Shifu. Aku mengerti,” katanya. “Aku coba lagi.” Setelah berkata begitu, ia berjalan pelan-pelan ke arah Yin Kexi.

Yang Guo menatap anak muda itu lekat-lekat. Tadinya ia melompat ke depan, sekarang ia berjalan pelan. Yang Guo tahu ini pastilah sebuah prinsip yang diambil dari Kitab Sembilan Matahari itu. Jadi buku itu bukan hanya berisi pelajaran untuk menyehatkan orang, tapi juga berisi teknik-teknik mengalahkan lawan.

Ketika ia berada sekitar empat kaki dari Yin Kexi, Junbao mengulurkan tangannya untuk memegang tangan Yin Kexi. Yin Kexi tertawa. Ia menaruh tangan kirinya di depan sebagai umpan, dan tangan kanannya memukul dada anak itu. Ia tidak berniat melukai anak itu, jadi pukulannya tidak langsung. Pukulan itu miring ke arah sisi anak itu. Ia hanya ingin anak itu merasakan sedikit rasa sakit dan memberinya pelajaran.

Zhang Junbao tidak menghindari serangan itu. Dalam sekejap dadanya terkena. “Shifu, aku tidak bisa menahannya!” katanya.

Yin Kexi terkejut. Tinjunya mencapai sasaran, tetapi ia merasa tubuh anak itu mengembalikan tenaga lawan, yang membuat pukulannya terpantul kembali ke arahnya. Untungnya ia cukup tangguh. Ia buru-buru menetralisir tenaga itu. Tangan kirinya melayang maju ke arah bahu si pemuda. Ia ingin menangkap, mengangkat dan melemparkan pemuda itu jauh-jauh. Ketika ia mengangkatnya, si pemuda tidak mengelak. Ia terkejut dan takjub, dan akhirnya cemas. Beberapa kali ia mengubah taktik. Junbao hanya terayun ke depan dan belakang, kiri-kanan, tapi ia tidak bisa menjatuhkannya. Ia terus memukul, dan terdorong oleh rasa malu ia berkata, “Xiao Shifu, aku tidak mau berkelahi denganmu! Orang baik akan bicara, bukan memakai cara paksa. Kau pergilah, mari kita bicara seperti layaknya orang baik.”

Setiap pukulan Yin Kexi lebih kuat dari sebelumnya, tetapi Junbao tidak bergerak. Tubuhnya terus memantulkan tenaga lawan. Makin keras ia terpukul, maka tenaga yang terpantul balik juga makin keras. Setelah beberapa saat Junbao menjerit, “Ah, Shifu, dia memukulku keras sekali! Aku merasa sakit! Shifu, tolong aku!”

Yin Kexi berkata, “Aku tidak akan memukulmu kalau kau tidak memukulku lebih dulu. Da Shifu, kalau kau ingin memukulku, lakukan saja. Kalau kau berbelas kasihan, aku juga tidak berani menolaknya.”

Jueyuan menggelengkan kepalanya. “Yang dikatakan Yin Shizhu benar!” katanya. “Kau tidak perlu memakai cara paksa… Tidak, aku tidak bisa membantumu. Kau harus mengatasi masalahmu sendiri. Kau harus memahami mana yang kosong dan mana yang tidak. Segala hal kalau bukan kosong ya pasti berisi. Ingat kata-kataku, tubuhmu seharusnya seperti genderang, tidak ada apa-apa di dalamnya. Jangan menaruh terlalu banyak, tapi juga jangan terlalu sedikit, dan jangan membiarkannya hancur.”

Junbao memahaminya. Ia sudah bersama-sama Jueyuan sejak berusia enam atau tujuh tahun, dan gurunya sudah memberikan kitab Jiu Yang kepadanya. Ia mempersiapkan diri. Kali ini ia hanya merasakan sedikit sakit, tidak separah sebelumnya.

Dengan kemampuannya, Yin Kexi sebenarnya bisa saja melukai anak itu dengan parah. Tapi saat itu di dekatnya ada Yang Guo, Xiao Longnu, Zhou Botong, Guo Jing dan yang lain. Ia tidak berani mencelakai anak ini, apalagi membunuhnya. Ia tidak sanggup memukulnya sampai jatuh, tapi anak itu juga tidak bisa menyentuhnya. Pertarungan itu berlanjut.

Yang Guo dan lainnya merasa geli. Xiaoxiang merasa cemas. Guo Xiang juga kehilangan kesabarannya. “Xiao Didi,” katanya, agak mendesak. “Pukul dia! Kenapa kau membiarkan dia memukulimu tanpa melawan?”

“Tidak! Jangan!” seru Jueyuan. “Jangan cemas, jangan marah! Jangan memukul, jangan mengutuk!”

“Pukul dia!” desak Guo Xiang memberi semangat. “Kalau kau tidak bisa, aku akan membantumu!”

“Terima kasih, Nona!” kata Junbao. Ia memukul dada Yin Kexi.

“Dosa! Dosa!” jerit Jueyuan sambil menggelengkan kepalanya. “Pikiranmu tidak lagi sejernih cermin terang yang menghentikan aliran air…”

Junbao berkelahi seperti orang yang tidak pernah belajar kungfu, ia hanya mengirimkan pukulan secara sembarangan. Bagaimana ia bisa melukai lawan? Yin Kexi tertawa terbahak-bahak, tapi sebenarnya ia merasa pahit. Ia sudah cukup dikenal di Jianghu selama puluhan tahun. Tidak ada orang berani sembarangan menghinanya. Tak disangka saat ini ia mengalami penghinaan besar, berkelahi melawan anak kecil. Yang paling parah adalah, ia tidak sanggup melakukan apa-apa… Meskipun pukulan Junbao tidak keras, tapi ia akhirnya merasa sakit.

Yin Kexi gelisah. Serangannya sia-sia. Ia ingin membunuh anak ini, tapi ia takut kepada semua orang lain yang ada di situ. Ia terus memukul, tetapi anak itu tetap berdiri teguh dengan gigihnya. Ia menjerit kesakitan sampai Jueyuan berkata berkali-kali, “Yin Shizhu, tolong jangan bunuh muridku. Dia anak yang pintar. Dia hanya mengganggumu karena kehilangan buku itu, benda pusaka perguruan kami. Kalau Biksu Kepala tahu tentang hal ini, kami akan dihukum berat. Xiaosheng mohon…” Sementara kepada Junbao ia berkata, “Junbao, ingat baik-baik pelajaranmu. Gunakan otak, bukan emosi. Ikuti gerakan lawan, harus luwes. Tempatkan pikiranmu di tempat yang dipukulnya…”

“Benar!” jawab Junbao dengan lantang. Setelah itu ia tidak menjerit lagi. Pikirannya tertuju ke tempat yang dipukul oleh Yin Kexi. Tak ada rasa sakit lagi. Sekali lagi Yin Kexi bingung. “Awas! Aku akan memukul kepalamu!” ancamnya.

Junbao mengangkat tangan untuk menyambutnya, tapi ia tertipu. Yin Kexi tidak memukul kepalanya, tapi menendang dengan kaki kiri hingga anak itu jatuh bergulingan ke tanah. Ia terus berguling sampai tiba di dekat Yang Guo.

“Yin Shizhu, kenapa kau berbohong?” tegur Jueyuan. “Kau bilang mau memukul kepalanya, kau memberi peringatan supaya dia waspada, tapi kau malah menendangnya. Kau pakai akal bulus untuk menipu orang lain.”

Huang Yaoshi dan yang lain merasa geli. Dalam pertempuran, kosong adalah penuh, dan penuh adalah kosong. Orang harus memakai tipuan yang tak terduga untuk melawan.

Junbao merasa tidak senang. Ia mengusap-usap bagian tubuhnya yang kena tendang dan berkata, “Aku tidak akan berhenti sebelum menggeledahmu!”

Yang Guo mengulurkan tangannya untuk menahan anak itu. “Adik kecil, tunggu dulu!” katanya. Junbao terkejut, ia memalingkan kepalanya. Ia merasa lengannya mati rasa akibat cekalan Yang guo.

Yang Guo berbisik, “Yang kau lakukan hanya membiarkan dia memukulmu tanpa membalas. Kau tidak bisa begitu. Biar kuajari sebuah gerakan. Lalu kau pukul dia dan lihat bagaimana hasilnya.” Ia kemudian menyentakkan lengan jubah kanannya yang kosong ke muka Junbao sambil menyodok dengan tangan kirinya ke dada anak itu. Sekitar setengah kaki sebelum mencapai sasaran mendadak ia mengubah arah ke pinggang anak itu. Ia berbisik lagi, “Gurumu benar, dia bilang ‘tempatkan pikiranmu di tempat lawan memukulmu’. Ini sama saja dengan pukulanmu. Tempatkan pikiranmu di tempat yang ingin kau pukul. Seperti kata gurumu, gunakan otakmu, bukan emosi.”

Junbao kegirangan. Ia mengikuti petunjuk Yang Guo. Ia bergerak ke arah Yin Kexi, mengangkat lengan kanannya ke arah muka Yin Kexi sambil menyodok denagn tangan kirinya ke arah dada Yin Kexi. Yin Kexi mengangkat tangannya untuk menangkis. Junbao bisa melihat gerakan lawan, ia mendadak menggerakkan tangannya ke arah rusuk Yin Kexi.

Yin Kexi sudah merasakan pukulan anak itu sebelumnya, dan pukulan itu tidak keras. Ia juga melihat Yang Guo memberi petunjuk. Ia tidak terlalu memusingkan pukulan itu karena berpikir, “Beberapa ratus pukulan seperti itu mana bisa melukaiku?” Tapi ia keliru. Ketika pukulan itu mendarat di rusuknya, ia merasa tersengat sesuatu hingga tubuhnya tertekuk. Ia nyaris menjerit. Tentu saja ia terkejut, tetapi juga sadar. Ia melihat Junbao hendak menguangi serangannya. Ia melambaikan tangan kanannya ke arah muka Yin Kexi dan menyodok dada Yin Kexi dengan tangan kanannya. Yin Kexi sudah mulai hafal gerakan itu. Ia menghindari sodokan itu. Junbao terdorong ke depan dan membentur batu hingga dahinya berdarah.

Anak muda itu tidak bersuara. Ia cepat-cepat menghapus darah yang menetes dan berjalan ke arah Yang Guo. Ia berlutut di depan Yang Guo dan berkata, “Yang Shizhu, mohon ajari aku gerakan lainnya.”

Yang Guo mengangguk. Ia tahu Yin Kexi sedang memperhatikan mereka, jadi ia berbisik, “Kali ini aku mengajarimu tiga gerakan. Ynag pertama, tangan kiri dan kananmu harus bisa saling menggantikan. Sepertinya kau akan menggunakan tangan kiri, tapi sebenarnya tangan kanan. Ketika kau menyodok dengan tangan kanan, sebenarnya tangan kiri.”

Junbao mengangguk. Yang Guo mengajarkan jurus Tui Xin Zhi Fu9. Anak itu mengingatnya baik-baik.

“Sekarang yang kedua,” lanjut Yang Guo. “Kali ini kiri adalah kiri, kanan adalah kanan.” Ia mengajarkan Si Tong Ba Da Li. Junbao menghafalkannya dua kali, dan ia akan mengingatnya seumur hidup.

“Jurus ketiga adalah Lu Si Shui Shou. Ini melibatkan pertukaran depan dan belakang. Lebih rumit dari yang lain. Kau tidak boleh salah. Kau tidak mengerti teknik totokan, tidak apa-apa. Aku akan menandai punggungnya. Kalau kau menekannya, maka kau akan bisa mengendalikan dia.” Sambil bicara Yang Guo juga menggerakkan jarinya untuk memberi contoh. Ia berkata, “Ingat, gerakan ini mengandalkan gerakan kaki. Kau mengerti?”

“Ya,” kata Junbao sambil mengangguk dan berjalan ke arah Yin Kexi.

Yin Kexi sudah mengamati Yang Guo dengan teliti. Ia berkata dalam hati, “Tiga jurus ini bagus. Semuanya sulit untuk dilawan kalau datangnya dari Yang Guo sendiri, tapi dia mengajari anak kecil ini di depan mataku. Dia kira Yin Kexi ini sedungu kerbau atau kuda kayu? Yang Guo, Yang Guo, kau terlalu meremehkan aku!”

Karena hatinya dipenuhi amarah, Yin Kexi tidak berpikir jernih. Begitu Junbao mendekat, ia segera menyerang bahu anak itu. Pukulannya tepat mengenai sasaran.

Junbao ingat petunjuk Yang Guo, ia membiarkan serangan itu tiba, ia bahkan tidak mengelak, ia hanya menggertakkan gigi. Yin Kexi memukulnya menggunakan lima bagian dari tenaganya. Tujuannya adalah untuk menakut-nakuti anak itu. Junbao menjerit kesakitan, bahunya berbunyi seolah meledak, tapi ia mengabaikannya dan menyerang dengan jurus pertama.

Yin Kexi melihat instruksi Yang Guo, ia sudah memikirkan cara untuk mengatasinya, tapi ia tidak mendengar ucapan Yang Guo. Ia mengira akan bisa memukul jatuh anak itu seperti sebelumnya.

Tetapi serangan Junbao sungguh di luar dugaannya. Ia menangkis dengan tangan kirinya, tetai serangan itu ternyata hanya tipuan, sementara tangan kanannya juga menangkap angin. Yiba-tiba perutnya terkena pukulan telak dan ia mulai berkeringat deras.

“Wow, Yang Xiongdi, itu Tui Xin Zhi Fu yang dipraktekkan dengan luar biasa!” puji Zhou Botong sambil tertawa terbahak-bahak.

Yin Kexi terkejut, tetapi Junbao sudah menyerangnya dengan jurus kedua, Si Tong Ba Da Li, yang bisa diartikan bahwa pukulan akan datang dari segala penjuru. Ia merasakan sakit ketika anak itu berkelebat di depan matanya. Ia mengira serangan itu \akan sama seperi sebelumnya. Dari kiri ke kanan, dan sebaliknya. Karena itu ia membalas dengan bergerak ke kiri. Sambil membalas ia melakukan serangan balik. Tetapi lagi-lagi ia tertipu.

Junbao bisa melakukan serangannya dengan baik. Kedua tangannya mengenai bahu Yin Kexi, dada dan punggungnya. Ia bergerak dengan ringan da gesit, tangannya cepat. Sayangnya tenaga dalamnya masih lemah. Yin Kexi tidak merasakan sakit yang terlalu parah, tapi ia dengan panik menangkis dan mengelak kesana-kemari.

Jueyuan menyaksikan reaksinya dan berseru, “Yin Shizhu, kau keliru! Kau harus ingat bahwa tidak ada makna sejati dari depan dan belakang, kiri dan kanan. Siapa yang belakangan bergerak sebenarnya akan mengambil inisiatif, dan siapa yang memgambil inisiatif serangan akan berada di bawah kendali lawan.”

Yang Guo terkesan. “Biksu ini benar,” pikirnya. “Dia mengerti dengan baik intisari ilmu silat. Kata-katanya sangat berharga. Tadinya kupikir dia hanya membiarkan muridnya berkelahi sendiri, tapi ternyata dia juga memberi petunjuk. Yin Kexi sudah mencapai ilmu tingkat tinggi, tapi aku ragu ia bakal bisa memahami pelajaran ini meskipun diberi waktu lima sampai sepuluh tahun untuk memikirkannya.”

Ia benar. Yin Kexi tidak memahami maksud tersembunyi di balik ucapan Jueyuan. Ia mengira biksu itu hanya mengolok-olok untuk mengganggu konsentrasinya.

“Hei, botak, jangan omong kosong!” bentaknya. “Oh, aw… aw!”

Ia menjerit kesakitan karena paha kirinya tertendang oleh Zhang Junbao. Ia murka dan mengangkat kedua tangannya, berniat untuk menyerang dengan sepenuh tenaga. Ia mengabaikan serangan Junbao dan hanya ingin melampiaskan amarahnya.

Junbao gugip melihat mukanya yang sangar, seluruh rambut dan bulu-bulunya berdiri. Ia menjerit. Ia hendak melompat mundur ketika mendengar gurunya berkata, “Junbao, tenaga kita melawan tenaganya! Cepat, cepat! Pakai kelembutan dari keluwesan. Pinjam tenaga dengan Si Liang Bo Qian Jin!”

Jueyuan sedang mengajarkan esensi Jiu Yang Zhen Jing. Sayangnya sudah terlambat. Tak peduli sepintar apa Junbao, ia tidak bisa memahaminya dalam sekejap. Akibat kecemasannya, Junbao sesak nafas. Ia bisa melihat Yin Kexi benar-benar marah dan ingin membunuhnya.

Pada saat kritis itu ia mendengar desingan suara kerikil kecil melayang ke arah Yin Kexi. Kerikil itu sangat kecil, tapi ternyata membuat Yin Kexi menggertakkan giginya dan mundur selangkah. Yang Guo telah menolong Junbao. Ia mengambil beberapa kuntum bunga, meremasnya menjadi bola, lalu menyentilnya dengan ilmu Jentikan Jari Dewa yang diajarkan Huang Yaoshi.

Yin kexi berusaha menghindari peluru bunga itu dengan bergerak mundur, tapi bola bunga berikutnya mengenai titik akupuntur Da Zhui Xue di punggungnya secara akurat. Sentuhan bola itu tidak keras, tapi meninggalkan tanda sari bunga di bajunya.

Junbao terselamatkan dari bahaya. ia melompat ke barat, tetapi tidak melarkan diri. Sebaliknya, ia melanjutkan serangannya dengan jurus Lu Si Shui Shou ajaran Yang Guo.

Yin Kexi ragu-ragu. Ia telah merasakan beberapa pukulan dari anak ini. “Pada pukulan pertama kiri dan kanan bisa saling dipertukarkan, jurus kedua polos saja. Entah bagaimana yang ini?” Yang Guo sangat cerdik, ia menciptakan gerakan itu berdasarkan pepatah kuno ‘kehilangan rusa, semua orang mengejarnya’. Yin Kexi tidak bisa mengantisipasi serangan itu.

Betapapun ia berusaha mengimbangi keterlambatannya, Junbao ternyata lebih cepat. Ia tiba di belakang punggung Yin Kexi. Pada saat itu sinar bulan menerangi tanda sebesar ibu jari tangan yang ditinggalkan bola bunga yang dijentikkan Yang Guo. Tanpa membuang waktu Junbao memukul tanda itu. Ia berpikir, “Yang Shizhu baik sekali, tanpa setahuku dia sungguh meninggalkan tanda seperti janjinya…”

Yin Kexi terlambat bergerak. Sebelum sadar, punggungnya tertotok oleh jari Junbao. Da zhu Xue adalah titik temu tiga jalan darah. Ia mendadak merasa mati rasa dan jatuh ke tanah.

Kecuali Xiaoxiang Zi, semua orang bersorak! Mereka memuji, “Bagus sekali! Lu Si Shui Shou!”

“Permisi!: kata Junbao sambil menggeledah tubuh lawannya. Sayangnya ia tidak menemukan buku yang dicari. Ia berpaling kepada Xiaoxiang Zi.

Xiaoxiang Zi tidak bodoh. Ia tahu niat anak itu. Kungfunya seingkat dengan Yin Kexi. Karena itu, kalau Yin Kexi kalah, ia pun tidak bakal menang. Tanpa disuruh, ia mengebaskan jubah panjangnya sambil berkata, “Aku tidak menyimpan buku yang kau cari. Selamat tinggal!” Ia tidak mempedulikan Yin Kexi, dan mendadak melompat ke selatan untuk melarikan diri.

Tak terduga Jueyuan menjentikkan jubahnya. Tubuhnya melayang melampaui Xiaoxiang Zi dan menghalangi jalannya. Xiaoxiang Zi cepat, tapi Jueyuan lebih cepat. Tanpa membuang waktu, Xiaoxiang Zi menyerang dada biksu itu. Ia mengerahkan seluruh tenaganya dengan kedua tangan.

“Awas!” Yang Guo, Zhou Botong, Yideng Dashi dan Guo Jing menjerit serempak. Mereka tahu kedahsyatan pukulan itu. Sementara mereka masih berteriak, suara benturan keras terdengar. Dada biksu itu terpukul telak oleh Si Maling Buku. Mereka mengeluh dalam hati, “Celaka!”

Meskipun pukulannya mengenai dada biksu itu, Xiaoxiang Zi justru terpental. Tubuhnya terbang seperti layang-layang putus talinya hingga beberapa meter, ia jatuh ke tanah, pingsan.

Jueyuan tidak punya ilmu silat, tetapi ia menguasai Kitab Sembilan Matahari. Tubuhnya bisa dikendalikan semaunya. Ia tidak menghindari serangan Xiaoxiang Zi, tapi tubuhnya bereaksi terhadap serangan dari luar secara alamiah. Sebuah pukulan lemah akan menimbulkan reaksi lemah, dan pukulan keras akan menimbulkan reaksi yang lebih keras. Xiaoxiang Zi memukul dengan sangat kuat, karenanya reaksi yang timbul juga dahsyat. Tenaga Xiaoxiang Zi terpantul kembali ke sumbernya, dan ia melukai dirinya sendiri dengan parah.

Semua orang yang menyaksikan peristiwa itu terkejut dan sekaligus gembira. Mereka diam-diam memuji tenaga dalam biksu ini yang luar biasa. Tetapi Jueyuan diam, ia bergumam pelan, “Amitabha, Amitabha.” Zhang Junbao buru-buru melompat untuk menggeledah tubuh Xiaoxiang Zi. Tapi sama seperti Yin Kexi, ia juga tidak menemukan apa yang dicarinya di tubuh Xiaoxiang Zi.

“Aku kebetulan mendengar pembicaraan mereka, aku yakin mereka mencuri buku,” kata Yang Guo. “Entah di mana mereka menyembunyikannya.”

“Ayo kita siksa mereka sedikit supaya mengaku,” usul Wu Xiuwen.

“Tolong, tolong…” kata Jueyuan, “jangan…”

“Kurasa mereka tidak akan mengaku meskipun kita memotong tangan atau kaki mereka,” kata Huang Rong menambahkan. Ia kenal betul karakter dua orang ini.

Saat itu, ketika duduk di punggung keledainya, Guo Xiang teringat ketika menolong Zhang Junbao membersihkan luka di dahinya, pemuda itu melihatnya menitikkan air mata. Sepertinya ingin bertanya, tapi tidak jadi membuka mulut.

Guo Xiang menghela nafas dengan sedih. Itulah saat terakhir kalinya ia melihat Yang Guo dan Xiao Longnu bersama elang raksasa mereka. Setelah itu mereka menghilang, sampai sekarang, setelah tiga tahun, Guo Xiang tidak mendengar kabar apapun mengenai mereka.

Tanpa sadar ia mengambil arah menuju ke Gunung Shaoshi.


Pada tahun itu juga, Alghu Khan yang dikirim Ariq Boke untuk memimpin kalangan Chagatai membelot ke pihak Kubilai. Ia mengalahkan pasukan yang dikirim oleh Ariq Boke.

Peperangan antar kedua putra Tolui itu masih terus berlanjut.

Sementara itu di Xiang Yang, Yelu Qi yang sekarang menjadi ketua Kai Pang giat melatih anggotanya berdasarkan kungfu yang diwarisinya dari Zhou Botong. Para anggota Kai Pang selalu siaga dan dengan waspada mengamati semua orang di jalan, begitu mereka melihat ada orang yang mencurigakan, Guo Jing dan Yelu Qi akan segera mengetahuinya. Dengan demikian mereka bisa tahu siapa saja yang keluar masuk tembok kota.

Meskipun tidak mau tinggal bersama keluarga Guo Jing, tetapi Huang Yaoshi selalu berada di dekat kota Xiang Yang, ia dengan sepenuh hati mendukung perjuangan Guo Jing untuk mempertahankan Xiang Yang.

Sepanjang tahun itu keadaan kota Xiang Yang relatif aman dari para prajurit Mongolia, karena mereka sedang disibukkan dengan peperangan antar kubu Kubilai Khan dan Ariq Boke. Ketika berita mengenai hal ini tersebar luas, Guo Jing sempat melamun sendirian di atas tembok kota. Ia teringat akan saudara angkatnya Tolui, dan begitu teringat akan Tolui, ia mau tidak mau teringat akan Huazheng.

Kubilai Khan sangat menghormati Guo Jing, ketika mereka bertemu di markasnya lebih dari lima belas tahun yang lalu, ia memanggil Guo Jing ‘Paman Guo’.

Footnotes

  1. Dinasti Tran berkuasa atas Viet Agung, atau dalam bahasa Han adalah Da Yue (大越). Wilayah ini di dunia modern kita kenal sebagai Vietnam.

  2. Kurultai adalah Sidang Umum Majelis Agung Mongolia, biasanya diadakan untuk membicarakan masalah yang sangat penting, yang paling umum adalah pemilihan seorang Khan Agung.

  3. Zhong Shu Sheng (中書省), disebut juga sebagai Sekretariat Pusat atau Sekretariat Istana, adalah posisi di dalam struktur pemerintahan Tiongkok kuno peninggalan Dinasti Cao Wei (220-266 M). Pemerintahan yang dibentuk oleh Kubilai Khan tetap mempertahankan posisi ini.

  4. Li Ping adalah ibu kandung Guo Jing. Saat itu ia tewas bunuh diri karena Genghis Khan memakainya sebagai sandera untuk memaksa Guo Jing memimpin pasukan menyerang Dinasti Song.

  5. Paman Jenggot Panjang yang dimaksud di sini adalah Yelu Chucai, seorang keturunan Khitan yang menjadi penasihat Genghis Khan.

  6. Murid-murid Shaolin dibagi menjadi dua kategori, yang pertama adalah biksu, dan yang dimaksud ‘murid awam’ oleh Jueyuan di sini adalah kategori kedua, yaitu murid yang bukan biksu. Bahkan mungkin tidak beragama Buddha. Tetapi siapapun juga dia, Shaolin akan tetap memberikan ajaran agama Buddha sebagai pelajaran wajib, terutama kalau murid itu ingin mempelajari ilmu bela diri.

  7. Kitab Jiu Yang, dalam bahasa mandarin adalah Jiu Yang Zhen Jing (九阳真经). Secara literal bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘Kitab Suci Sembilan Matahari’.

  8. Kitab Sembilan Bulan yang dimaksud adalah Jiu Yin Zhen Jing (九阴真经). Saat itu ketika sedang bicara dengan Jueyuan Dashi, hanya Guo Jing, Huang Rong, Zhou Botong, Yang Guo dan Xiao Longnu yang menguasai ilmu di dalamnya. Yideng Dashi dan Hong Qigong hanya menguasai sebagian yang berhubungan dengan teknik menyembuhkan cedera dan memulihkan tenaga dalam ketika mereka sedang terluka.

  9. Tui Xin Zhi Fu, atau ‘Mendorong Jantung Menekan Perut’.